Atu belah, atu bertangkup nge sawah pejaying te masa dahulu. " Artinya: Batu Belah, batu bertangkup, sudah tiba janji kita masa lalu. Kata-kata itu dinyanyikan berkali-kali secara lembut oleh ibu yang malang itu. Sementara itu si ibu menuju ke Atu Belah, kedua anaknya terus mengikutinya sambil menangis dari kejauhan. Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Cerita Rakyat Indonesia yang paling popular dikalangan masyarakat Indonesia pernah kami tulis dalam posting Cerita Rakyat Indonesia Paling Populer Dari Pulau Jawa. Kali ini kami memposting salah satu dari contoh cerita rakyat nusantara yang paling menarik. Cerita rakyat pendek ini mengisahkan seorang Ibu yang hidup dengan kedua anaknya. Yuk kita ikuti kisahnya bersama-sama. Pada zaman dahulu, di sebuah desa. Tinggallah seorang Janda yang bernama Mbok Minah. Ia tinggal dengan kedua anaknya. Anak yang pertama seorang Laki-laki dan anak Mbok Minah yang ke dua seorang perempuan. Contoh Cerita Rakyat Indonesia Legenda Batu Batangkup Mbok Minah selalu bekerja keras untuk menghidupi kedua anaknya. Ia selalu pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan di jual ke pasar. Hasil dari penjualannya tersebut di gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua anaknya sangat nakal dan pemalas. Kerjaannya hanya main-main saja. Mereka tidak pernah membantu Mbok Minah. Mereka selalu membantah perkataan emaknya dan membuat Mbok Minah sedih dan menangis. Mbok Minah sudah tua dan sakit-sakitan. Namun, kedua anaknya selalu bermain tanpa mengenal waktu dan kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya. “Yaaa Tuhan, hamba. Sadarkanlah anak hamba yang tidak pernah ingin menghormati ibunya,” Mbok Minah berdoa di antara tangisnya. Pada suatu hari. Mbok Minah memanggil kedua anaknya. Namun, Kedua anaknya tidak menghiraukan panggilan ibunya tersebut malah asik bermain. Mbok Minah pun terus memanggil kedua anaknya. Dan tetap sama, mereka sama sekali tidak menghiraukan panggilannya. Akhirnya, mbok Minah pergi ke dapur untuk membuatkan makanan, meskipun badannya terasa sangat lemas. Tidak lama kemudian, makanan sudah siap. Mbok Minah segera memanggil kedua anaknya. ’ Anak-anakku ayo pulang. Makanan sudah siap.’’ Ujar Mbok Minah. Mendengar makanan sudah siap, mereka langsung berlari menuju dapur. Mereka makan dengan sangat lahap dan menghabiskan semua makanan tanpa menyisakan sedikitpun untuk emaknya. Mbok Minah menahan rasa laparnya. Kedua anaknya kembali bermain dan sama sekali tidak membantu Mbok Minah mencuci piring. Ketika malam semakin larut. Sakitnya Mbok Minah semakin parah. Namun, anaknya sama sekali tidak mempedulikannya sampai Mbok Minah tertidur sangat lelap. Suatu hari. Mbok Minah menyiapkan makanan yang sangat banyak untuk kedua anaknya. Setelah itu, Mbok Minah langsung pergi ke tepi sungai mendekati sebuah batu. batu tersebut dapat berbicara. Batu tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali seperti karang. Orang-orang di desa tersebut menyebutnya Batu Batangkup Mbok Minah mendatangi Batu Batangkup dengan perasaan sangat sedih. ’ Wahai Batu yang dapat bicara. Saya sudah tidak sanggup hidup dengan kedua anak yang sudah durhaka kepada orang tuanya. Kedua anak yang tidak pernah mempedulikan keberadaanku dan tidak pernah menghormati orang tuanya. Aku mohon. Tolong telanlah aku sekarang juga.’’ Kata Mbok Minah menangis. ’ Apakah engkau tidak menyesal dengan permintaan mu ini Mbok Minah? Bagaimana nasib kedua anakmu nanti?’’ jawab Batu Batangkup. ’ Aku tidak akan pernah menyesal. Mereka bisa hidup sendiri. Mereka juga tidak pernah menganggapku dan peduli pada emaknya.’’ Kata Mbok Minah. ’ Baiklah Mbok Minah. Jika itu mau mu. Akan aku kabulkan.’’ Dalam sekejap, Batu Batangkup langsung menelan Mbok Minah, dan meninggalkan rambut panjangnya. Kedua anaknya pun merasa heran. Karena tidak bertemu dengan emaknya dari pagi. Namun, mereka tetap tidak mempedulikan emaknya. Karena makanan yang lumayan banyak. Mereka hanya makan dan kembali bermain. Namun, setelah dua hari makanan pun habis. Mereka mulai kebingungan dan mulai merasa lapar. Sudah dua hari berlalu. Namun, emaknya belum juga kembali Keesokkan harinya, mereka mencari Mbok Minah sampai menjelang malam. Namun, tidak bisa menemuka emaknya. Keesokkan harinya lagi. Mereka mencari di sekita sungai. Mereka melihat Batu Batangkup dan melihat ujung rambut Mbok Minah yang terurai. Mereka segera berlari menghampiri Batu Batangkup tersebut. ’ Wahai Batu Batangkup. Tolong keluarkan emak kami. Kami sangat membutuhkan emak kami.’’ Ratap mereka sedih. ’ Tidak!! Aku tidak akan mengeluarkan Mbok Minah keluar dari perutku. Kalian membutuhkannya karena lapar. Kalian tidak menyayangi dan menghormati emak kalian.’’ Jawab Batu Batankup. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup. Namun, tindakan mereka hanya sebentar. Setelah itu mereka kembali pada kebiasaan lamanya, pemalas, tidak mau membantu emaknya, tidak menghargai dan menghormati orang tua. Dan kerjaannya hanya bermain dan bermain. Mbok Minah merasa sangat sedih karena kejadian sebelumnya terulang kembali. Ia pun memutuskan kembali untuk di telan oleh Batu Batangkup. Namun, kedua anaknya asik bermain dari pagi sampai menjelang sore. Mereka pun menyadari dan tidak melihat emaknya. Keesokan harinya, mereka mendatangi Batu Batangkup dan kembali menangis dan memohon agar emaknya di keluarkan kembali. Namun, Batu Batangkup sangat marah. ’ Kalian anak-anak yang tidak tahu di untung. Kalian hanya anak nakal yang bisanya Cuma main dan main. Sekarang penyesalan kalian tidak aka nada gunanya.’’ Kata Batu Batangkup dengan nada tinggi. Batu Batangkup pun langsung menelan kedua anak nakal tersebut masuk kedalam tanah. Mereka pun sampai sekarang tidak pernah kembali. Pesan moral dari Cerita Rakyat Indonesia Batu Batangkup adalah hormati dan sayangi kedua orang tuamu karena kesuksesan dan kebahagianmu dimasa depan akan sangat tergantung dari doa mereka. Ikuti koleksi cerita rakyat menarik lainnya pada posting berikut ini Dongeng Cerita Rakyat Indonesia Cindelaras dan 5 Cerita Rakyat Fabel Nusantara Dongeng Sebelum Tidur Antara khazanah rakyat Malaysia ialah cerita-cerita rakyat dankhazanah ini seharusnya dipelihara supaya kekal sepanjang zaman. Oleh itu, buku-buku cerita seperti ini sering diterbitkan dalam pelbagai yang terdapat dalam siri ini Awang Janggut Puteri Lelasari dengan Ular Tedung Tanggang Derhaka Puteri Labu Bawang Putih Bawang Merah Batu Belah Batu Bertangkup Mahsuri Puteri ButaZ. LemanZ. LemanIlustrasi oleh Zaidi YamanPenerbitan Hartamas23 Jalan 3/57 B,Off Jalan Segambut Bawah,Segambut, 52100 Kuala Lumpur.© Penerbitan HartamasPurpustakaan Negara Malaysia Data Pengkatalogan-dalam-PenerbitanZ. Leman Batu belah batu bertangkup / pengarang Z. Leman. Siri khazanah cerita rakyat ISBN 983-634-250-6 set ISBN 983-034-246-8 1. Folk literature, Malay. I. Judul. II. Siri. cipta terpelihara. Tiada bahagian buku ini boleh diterbitkansemula, disimpan untuk pengeluaran, ditukarkan ke dalam apa bentuksekalipun, sama ada secara elektronik, mekanikal, penggambaransemula, perakaman ataupun sebaliknya, tanpa izin terlebih dahuludaripada Penerbitan Hartamas. Dicetak di Malaysia oleh Grand Art Printing & Packaging Sdn. Bhd. 31, Jalan Jasa Merdeka 1A, Taman Datuk Thamby Chik Karim, Batu Berendam, 75350 khazanah rakyat Malaysia ialah cerita-ceritarakyat dan khazanah ini seharusnya dipelihara supayakekal sepanjang zaman. Oleh itu, buku-buku ceritaseperti ini sering diterbitkan dalam pelbagai bentuk. Kami tidak ketinggalan dalam usaha ini supayakhazanah ini terus terpelihara sepanjang demi generasi dapat menghayati cerita-ceritaini yang penuh dengan nilai-nilai murni. Semoga usaha ini dapat menambahkan bahanbacaan untuk kepentingan pendidikan zaman dahulu, ada sebuah negeribernama Cendana Puri. Negeri itu sebuahnegeri yang mundur lagi. Keadaankampung-kampungnya penuh hutanrimba. Raja yang memerintah bernamaAlam Syah. Baginda disegani oleh sekalianrakyatnya. Kehidupan rakyatnya hanya bekerjasebagai petani dan nelayan. Kebanyakanmereka hidup miskin tetapi bahagia. Antara rakyat negeri itu ada seorangperempuan bernama Mak Desa. Suaminyatelah meninggal dunia. Mak Desa tinggaldengan dua orang anaknya, seorangperempuan dan seorang lagi lelaki. Anak perempuan Mak Desa bernamaBunga Melor. Usianya dua belas tahun,manakala anak lelakinya pula bernamaBunga Pekan, berusia enam tahun. 1Mak Desa dan keluarga tinggal dikampung yang terpencil. Di sekitarkampung penuh dengan hutan seribu langkah dari rumahmereka, ke arah barat terdapat sebuahbatu besar. Kononnya, batu itu berpuakadan boleh menyedut manusia. Semua orang takut hendak pergi kesitu. Selama ini tiada seorang pun beranimendekati batu itu. Batu berpuaka inidiberi nama Batu Belah Batu Bertangkup. Keluarga Mak Desa sangat mereka buruk. Setiap hari, merekabercucuk tanam untuk hidup. Kadang-kadang Mak Desa menangguk ikan dipaya untuk dibuat lauk. Melur dan Pekan sedar akankemiskinan hidup mereka itu. Oleh itu,mereka selalu menolong ibunya membuatbermacam-macam pekerjaan. Rumahjiran-jiran mereka agak jauh juga darisitu. 4Pada suatu hari, Mak Desa hendakpergi menangguk ikan. Dia pun bersiap-siap. “Melur, Pekan, tinggallah di rumahbaik-baik. Mak hendak pergi menanggukikan,” kata Mak Desa kepada anak-anaknya itu. Kedua-dua adik-beradik itu gembiramendengar kata-kata ibu. Merekaberharap ibu mereka akan membawapulang ikan-ikan yang besar. Sebentar kemudian, Mak Desamenuju ke sebuah kawasan paya. Di situmemang terdapat banyak ikan. Mak Desasudah biasa menangguk ikan di paya itu. Mak Desa menangguk ikan ber-sendirian. Dia bekerja kali ini agak baik keranamendapat beberapa ekor ikan. Hatinyaberasa sangat gembira. 5Namun Mak Desa terus nenangguklagi. Dia mahu menangkap ikan seberapabanyak yang boleh. Tiba-tiba, dia melihatada seekor ikan tembakul di dalamtangguknya itu. “Oh, bertuahnya aku! Ikan inisedang bertelur nampaknya,” kata MakDesa. Dia membelek-belek ikan dia membuat keputusan untukpulang. “Ikan apa itu mak?” tanya Pekanketika ibunya sedang mempersiang ikanyang bertelur itu. Pekan suka melihattelur-telur ikan tersebut. “Inilah ikan tembakul namanya,”beritahu Mak Desa dengan senang hati. “Tentu telur-telur ikan itu sedaprasanya jika digoreng,” kata Melur pula. “Ya, mak akan goreng ikan ini,” kataMak Desa. 8Selesai sudah Mak Desa menggorengtelur-telur ikan tembakul itu. Diasingkansebahagian untuk dimakan oleh anak-anaknya itu. Ada beberapa ketul lagidisimpannya di atas para untuknya. “Sedapnya telur ikan ini,” Pekanmakan dengan gelojohnya. Sekejapsahaja telur-telur ikan goreng itu habisdimakan bersama-sama kakaknya. Ada pun Mak Desa masih terasapenat. Oleh itu dia tidak berselera untukmakan. Dia pun pergi berehat. Ketika diaberehat, rupa-rupanya dia terus terlelap. “Ah, mak aku sudah tidur! Akuhendak tengok telur goreng simpannya,itu,” kata Pekan. Rupa-rupanya, dia belumpuas makan telur-telur ikan tembakul itu. 9Akhirnya, telur ikan tembakul di ataspara ditemui. Tanpa diketahui olehsesiapa, Pekan makan telur itu sehinggahabis. Setelah kenyang, dia berpura-puratidur. Mak Desa mula berasa lapar. Diateringat akan telur goreng yang disimpan-nya itu. Dia pun pergi ke dapur untukmengambil telur itu tetapi telur itu tidakada lagi. “Siapa yang makan telur-telur gorengini?” tanya Mak Desa kepada anak-anaknya. Tiada seorang pun dan Pekan tuduhmenuduh di antarasatu sama lain. Hati Mak Desa berasa sangat sedih.“Kamu berdua ni memang tidak sayangkepada mak, kempunan Mak tidakdapat makan telur ikan tembakul,” kataMak Desa berasa kesal dengan sikapanak-anaknya itu. 12Air mata si ibu berlinangan. Tiba-tibasahaja dia menjadi benci melihat anak-anaknya sendiri. “Oh, aku adalah ibu yangmalang. Anak-anak tidak sayang kepadaaku lagi!” kata Mak Desa dengan suarayang pilu. Kemudian Mak Desa meninggalkanrumah. Dia mahu membawa dirinya yangmalang itu. Si ibu berjalan meredah hutan matanya terus berlinang. Dia tidaktahu ke mana arah tujuannya. “Mak! Mak! Jangan tinggalkan kami!”teriak Melur dan Pekan mengejar ibu mereka. Namunbegitu, Mak Desa tidak menghiraukanmereka lagi. Bagi Mak Desa, perbuatananak-anaknya amat melukakan hatinya. 13Dari jauh si ibu terdengar ada suaramemanggil-manggil namanya. Dia punberlari mendapatkan suara itu. “Mari kesini! Mari ke sini, Mak Desa!” kedengaransuara itu memanggil-manggil. Sebenarnya, itu adalah suara BatuBelah Batu Bertangkup. Kemudian MakDesa berkata, “Batu Belah BatuBertangkup, telanlah aku hidup-hidup,aku kempunan telur ikan tembakul!” Mendengar rintihan itu, batuberpuaka itu pun bergegar serta berbunyigarang. Ia mahu menyedut Mak Desa terus berkata lagi, “Batu BelahBatu Bertangkup, telanlah aku hidup-hidup, aku kempunan telur ikantembakul!” Melur dan Pekan terus mengejar ibumereka. “Mak! Mak! Jangan tinggalkankami!” kata mereka merayu-rayu. 16Sebentar kemudian si ibu berada dihadapan batu berpuaka tersebut. Ketikaitu, mulut batu itu terbuka luas. Mak Desabenar-benar sudah berputus asa. Kesudahannya Mak Desa masukjuga ke dalam mulut Batu Belah BatuBertangkup. Batu berpuaka itu puntertutup semula. Melur dan Pekan tidakdapat berbuat apa-apa. Mereka hanyamenangis. “Adik ku Pekan, mak telah menjadikorban batu berpuaka ini,” kata Melur. “Kak, ibu kita tidak ada lagi,kemanakah kita harus pergi?” tanyaPekan pula. “Kita tunggu mak di sini dik,” jawabMelur. Kedua-dua mereka terus teresak-esak. Mereka duduk menunggu di situhingga menjelang malam. 17Pada malam itu, ketika sedangtidur, Melur bermimpikan ibunya yangmemberitahu sesuatu. “Anak-anakku,tinggalkan tempat ini dan mulakan hidupbaru. Kamu berdua akan mendapatsesuatu yang baik nanti,” pesan si ibu itu. Kemudian ibu mereka berpesan lagi,“Jika kamu dalam kesusahan, datanglahke sini. Mak boleh tolong kamu berdua.” Pada keesokan harinya, Melur cubamenyempurnakan pesanan itu. Diamengajak adiknya pergi merantau.“Manalah tahu hidup kita berdua lebihbaik, dik,” kata Melur penuh harapan. Pekan bersetuju. Akhirnya, merekaberdua pun meninggalkan batu berpuakaitu. Mereka berjalan menghala ke arahbarat. 20Sudah terlalu jauh mereka berduaberjalan. Mereka berasa sedih. Apabilasampai di suatu tempat, tiba-tiba merekabertemu dengan seorang wanita tua. Diaadalah nenek kebayan yang baik hati. “Wahai cucu-cucu berdua! Kemanakah kamu hendak pergi?” tanyanenek kebayan kepada Melur dan Pekan. Wanitu tua itu menggembirakankedua adik-beradik itu. Melur menceritakankejadian yang berlaku ke atas merekaberdua. Nenek kebayan berasa simpatidan ingin menolong mereka. “Jika begitu, tinggallah bersama-sama nenek. Nenek pun tinggal seorangdiri,” kata nenek kebayan memujuk. 21Pelawaan itu diterima dengansenang hati. Sejak itu, tinggallah Melurdan Pekan di pondok nenek nenek kebayan adalah menjualbunga-bungaan. Melur dan Pekan turutmenolongnya. “Kadang-kadang nenek menjualbunga sampai ke istana raja,” beritahunenek kebayan tentang pekerjaanya. Tahun demi tahun Melur menjadi gadis remaja,manakala Pekan pula menjadi seorangpemuda yang kacak. Nenek kebayangembira kerana mereka berdua telahdewasa. Hidup nenek kebayan juga ber-tambah senang. Melur dan Pekan banyakmenolongnya dalam setiap pekerjaannya. 24Pada suatu hari, heboh berita tentangputeri Raja tidak sedarkan diri. Ramaibomoh dan dukun cuba menyembuh-kannya, namun tidak berjaya. Raja AlamSyah serta permaisuri benar-benar berasabimbang. “Jika ada sesiapa dapat menyembuh-kan puteri beta ini, segala permintaannyaakan beta tunaikan,” kata Raja Alam Syahmembuat janji. Ramai orang cuba menyembuhkanputeri tetapi gagal. Kemudian Pekantampil. Melur menyuruhnya membawatuan Puteri ke Batu Belah Batu Bertangkup. “Di sana nanti mungkin tuan Puteridapat disembuhkan,” kata Pekan kepadabaginda Raja. Raja Alam Syah membawa tuan Puteri ke tempatyang disebutkan. 25Di hadapan Batu Belah BatuBertangkup, Pekan dan Melur pun berseru.“Mak! Anakmu datang mengharapkanpertolongan. Puteri Raja tidak sedarkandiri.” Serta-merta batu itu terbuka suara Mak Desa menyuruhPekan membawa tuan Puteri masuk kedalam. Orang yang berada di situ menjadicemas. Apabila tuan Puteri dibawa keluartuan Puteri telah sembuh. Raja Alam Syah sangat juga permaisuri. Mereka terhutangbudi kepada Pekan dan juga Melur yangberjasa itu. “Pemuda ini memang padan jikadijodohkan dengan puteri kita itu,” katabaginda Raja. Permaisurinya bersetuju. Akhirnya Pekan berkahwin denganputeri Raja yang jelita. Mereka hidupbahagia. Melur dan nenek kebayandibawa tinggal di Istana yang indah itu. 28Jawab soalan-soalan di bawah ini1. Bagimanakah kehidupan rakyat di negeri Cendana Puri dan apakah pekerjaan mereka?2. Siapakah penduduk miskin di negeri Cendana Puri?3. Tidak jauh dari rumah tiga beranak itu terdapat batu besar berpuaka. Apakah nama batu berpuaka itu?4. Apakah yang menyebabkan Mak Desa ditelan batu berpuaka itu?5. Pada malam itu, Melur bermimpi. Siapakah yang muncul dalam mimpinya?6. Siapakah yang ditemui oleh Melur dan Pekan dalam perjalanan menuju ke batu puaka itu?7. Apakah pekerjaan nenek tempat Melur dan Pekan menumpang tinggal?8. Apakah yang telah berlaku kepada Puteri Raja?9. Dalam keadaan yang genting itu, siapakah yang tampil menghadap Raja?10. Ke manakah Tuan Puteri itu dibawa untuk mengubati penyakitnya? 29 Batu Belah, Batu Bertangkup The Devouring Rock January 20 - February 26, 2022 168 Suffolk Street, New York, NY 10002 Description Trotter&Sholer is excited to open our 2022 program with Azzah Sultan’s second solo exhibition. Batu Belah, Batu Bertangkup The Devouring Rock, explores and re-interprets the Malaysian folktale by the same name. Sultan’s work navigates ideas of domesticity and prescribed roles of mother and daughter within families and marriage. She is interested in craft and women in the context of de-colonisation and contemporary art. Batu Belah, Batu Bertangkup tells the story of a widowed mother who lives with her daughter and son. One morning the mother catches a Tembakul mudskipper fish full of delicious roe. She asks her daughter to cook the fish and save some roe for her. Her young son, however, is unable to resist temptation and eats his mother’s portion. When she returns to find that her son has eaten her fish and roe, and that her daughter has failed to stop him, she is distraught. Her daughter pleads for forgiveness, but her children’s perceived selfishness causes her to flee to a nearby hill where she throws herself against the side of a rock that consumes her leaving her two children without parents. The story offers a warning to children to keep their promises and be sensitive to the hardships of their parents. Sultan’s reframing of this story in six intricate patterned oil paintings with hand stitched fabric elements reimagines the events from the perspective of the daughter. Fairy and folk tales often present mothers and daughters as reflections of each other or as rivals. These tropes serve to cement women into their social places. For Sultan, this story has been about the responsibilities placed on girls and young women, and she strives to take a more critical approach to the narrative. She notes, “often in fairy tales and myths the mother daughter relationship is troubled, the mother figure is either the villain or the comfort. In Batu Belah, this is more complex, the mother is experiencing her own trauma, which is reflected through her actions and she unknowingly shifts responsibility to her daughter.” Sultan’s decision to obscure the character’s faces with hand painted batik patterns give them a sense of universality. Sultan expresses the emotions of each woman through their hands and uses their hair as a representation of their emotional state and identity. In the final painting, Not my burden to bear., we see a release and freedom and for the first time see her from the front, providing a powerful view of the full batik flower pattern Sultan placed at the center of the face. Incorporating these patterns was important to Sultan, who has an ongoing interest in craft, textiles, and traditional artistic medium. For Sultan, using loaded patterns as way to push back against the relegation of cultural, religious art or traditionally feminine crafts being to “low” art and to pull them out of the margins to the center of the contemporary art world. Trotter&Sholer is pleased to present Batu Belah, Batu Bertangkup The Devouring Rock, on view at 168 Suffolk Street, through February 26, 2022.

cerita batu belah batu bertangkup